Jumat, 20 Mei 2016

integrasi psikologi dengan islam



XXXII
INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM
Abdul Rifki / 1115016200075
Integrasi Islam dan Psikologi ternyata tidah semudah yang dibayangkan, secara tidak disadari integrasi itu memadukan dua kewenangan bidang keilmuan. Kewenangan pertama pada label islam yang sarat akan ilmu-ilmu keislaman sedang kewenangan kedua pada label psikologi yang sarat akan cabang-cabang psikologian. Psikologi islam disini adalah kajian tentang islam dilihat dari pendekatan psikologi. Oleh karena itu jika kita ingin mengetahui hakekat manusia maka Al Qur’an tetapi juga merefleksikan kejadian-kejadian di alam semesta.[1]
Menyaksikan pergumulan pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada keinginan yang kuat dari para pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna dalam kemodernan. Usaha ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan modern dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah perbincangan di seputar upaya membangun sebuah konstruksi Psikologi Islam yang mempunyai corak dan warna tersendiri, sekaligus sebagai psikologi alternatif. Sedang Psikologi umum telah terbukti banyak mengalami kegagalan di dalam memahami berbagai kehidupan jiwa manusia.
Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.
Dari segi pemikiran Islam, istilah Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara substansinya telah ada dalam pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, terlebih Ilmu Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut diwarnai dengan pemikiran filsafat.[2]
Psikologi Islam adalah satu pendekatan studi dalam memahami kejiwaan dan perilaku manusia yang berdasarkan konsep tauhid, dengan cara integrasi antara ilmu dan iman. Jangan sampai hati beriman kepada Allah tetapi cara atau pola berpikirnya tidak menopangnya. Artinya, kehadiran Psikologi Islam untuk mengintegrasikan pada semua hal. Karena sebagaimana diketahui, psikologi (sebagai disiplin ilmu) muncul bukan dari orang Islam tapi dari orang Barat dan karya-karya mereka telah banyak memberi kontribusi pada semua bidang kehidupan, sekalipun cara berpikirnya sekuler. Justru kehadiran psikologi Islam memberi nuansa transenden.
Psikologi Islam berasal dari ilmu nafs (dalam bahasa Arab berarti “jiwa”) yang merupakan salah satu ilmu kajian kejiwaan yang berkembang pada zaman keemasan Islam, yang mempunyai kemiripan dan dikembangkan juga berdasarkan psikologi modern yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selain dilahirkan dari penelitian empirik yang terbatas sesuai dengan kemampuan manusiawi, psikologi Islam berdasarkan kepada kitab suci Al Qur’an dan kajian Al Hadits Nabi Muhammad SAW.[3]
Ketika psikologi sekuler digunakan untuk memahami perilaku umat Islam, maka akan terjadi banyak masalah. Psikologi dipahami bukan sebagi ilmu jiwa, tetapi saat ini dipahami sebagai ilmu perilaku organisme. Sementara dalam Islam, jika merujuk pada tokoh seperti Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih dan al-Ghazali, psikologi merupakan bagian dari filsafat. Karena itu, dalam bahasa Arab, psikologi identik dengan ilmu nafs. Lantas, kenapa ilmu jiwa tidak menjadi bagian dari dalam psikologi modern, karena jiwa tidak bisa dipelajari. Sehingga di Barat, dengan pola berpikirnya yang positivistik itu tidak memasukkan jiwa sebagai bagian dari kajian psikologi, makannya psikologi dimaknai sebagai ilmu perilaku. Karena perilaku bisa dieksprimentasi dan eksplorasi secara empiris sedangkan jiwa tidak bisa. Itulah sejarah perkembangan Psikologi Islam, yang hadir untuk mengembalikan psikologi dari akarnya.[4]
Psikologi Islam memiliki berbagai sumber klasik. Di dalam Al Qur’an dan Al Hadits terdapat ayat-ayat yang menceritakan keadaan jiwa orang-orang beriman, orang-orang kafir, sikap serta tingkah Diri dan Spiritualitas. Para cendekiawan Islam pada zaman keemasan Islam, seperti Al Kindi (801-873), Al Farabi (878-950), Ibnu Sina (980-1037), Al Ghazali (1058-1111) dan lain-lain menghasilkan berbagai karya klasik tentang pemikiran atau penelitian mereka tentang jiwa pada manusia. Selain sumber klasik, pemikiran dan perkembangan psikologi modern juga memberikan kontribusinya yang pada akhrinya melahirkan Psikologi Islam. Dengan berbagai sumber seperti ini, Psikologi Islam tak hanya berdimensi ilmu jiwa secara psikologis, tetapi juga ilmu jiwa dalam hubungannya dengan Allah SWT.
 Lahirnya Psikologi Islam tidak terlepas dari sejarah upaya islamisasi pengetahuan. Ancok dan Suroso (1994) menyatakan bahwa sejarah perkembangan islamisasi pengetahuan telah dimulai pada abad 20 yang dipelopori salah satu oleh  lembaga The International Institute of Islamic Thought (IIIT)  pada tahun 1981 yang awalnya berpusat di Washington DC Amerika Serikat.  Para pemikir Islam merasa prihatin karena kondisi umat Islam yang begitu saja meniru kebudayaan-kebudayaan asing. Proses deislamisasi, westernisasi, dan sekularisasi akhirnya mengantarkan umat Islam berada “di anak tangga terbawah bangsa-bangsa”. Lembaga ini melakukan perbandingan-perbandingan antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan Barat modern, untuk kemudian membuang bagian ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Al Qur’an.  Al Qur’an dipergunakan sebagai penyaring daripada ilmu pengetahuan modern. Banyak program yang dilaksanakan secara aktif seperti mengadakan pertemuan internasional, menerbitkan banyak buku teks, review buku, jurnal, majalah yang semuanya mengarah kepada integrasi Islam dan ilmu pengetahuan. Mereka juga memberikan pandangan mengenai bagaimana integrasi islam dan ilmu pengetahuan secara umum seharusnya dilakukan.[5]
Sebagai mazhab baru dalam bidang psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang tidak dimiliki oleh psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan psikolog muslim sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu ini. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai psikologi Barat kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami Metodologi Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu pengetahuan yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah keuniversalan metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi Islam sebagai ilmu yang objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.[6]
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[7]
Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.
Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
...كتـاب أنزلنـه إليك لنخرج النـاس من الظلمـت إلى النـور بـإذن ربـهم إلى صراط العـزيز الحمـيد . (إبراهـيم/14: 1 )
“... (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim/14:1).[8]
Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[9] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala.
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika atau moral.[10]
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.
a. Pendekatan skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan skriptualis dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau Hadis dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilalah) yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang prosedur metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i (tematis), Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global). Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran al-Manqul.
b. Pendekatan falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal (burhan). Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil) terhadap lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik dengan aliran Ma’qul.
c. Pendekatan tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi (irfan). Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik disebut juga dengan Itsari.[11]
Kemudian Menurut Drs. Helly Soetjipto, MA Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) wilayah DIY, integrasi nilai-nilai Islam ke dalam ilmu psikologi menjadi tantangan baru yang harus dipecahkan. Sebab menurutnya ilmu psikologi yang dipelajari selama ini cenderung bersifat sekuler atau keilmuan murni.
Manusia pada dasarnya memiliki empat nafsu, yaitu keinginan untuk mencukupi kebutuhan hidup, keinginan untuk berkembang biak, keinginan untuk mencari harta, dan keinginan untuk mencari ketenangan. Selama ini yang diajarkan kan bagaimana cara mengelola dan memaksimalkan empat itu, belum mengarahkannya untuk mencapai spiritualitas kepada Tuhan.
Karena hanya dikelola dan dimaksimalkan, seringkali manusia tidak mencapai ketenangan hidup namun justru berujung pada stres dan kegelisahan. Oleh karena itu, ia berpendapat psikolog Islam dapat mencari cara bagaimana mengembangkan metode ilmiah untuk menjawab permasalahan itu.[12]
Selanjutnya integrasi psikologi dengan islam terbagi dalam tiga periode diantarnya:
a. Awal abad ke-16
pada abad ke-16 psikologi barat sangat erat dengan agama. Buktinya adanya cabang ilmu pneumatologi, yang terbagi dalam 3 bentuk yaitu (1) ilmu tentang Tuhan (Teologi) (2) ilmu tentang ruh-ruh perantara (Angelologi). (3) ilmu tentang ruh manusia (Psyhologia). Dan pada masa ini psikologi masih berbau metafisis.
b. Masa pertentangan
            Pada 1879, datanglah Wilhelm Wundt di Universitas Leipzig. Ia dianggap sebagai bapak psikologi modren yang berlandaskan di atas landasan ilmiah. Hal ini didukung oleh Fechner, yang menemukan metode eksak dalam pengukuran observasi eksperimental untuk meneliti gejala psikis. Fechner ternyata sosok yang sangat spiritual. Hal ini dapat dijelaskan oleh Ken Wilber pada salah satu kutipannya (Wilber, 2000:viii-ix), yang mengatakan bahwa ketika ia membongkar-bongkar toko buku yang dipenuhi buku-buku filsafat yang tua, dengan sangat terkejut ia menemukan buku dengan judul yang mencolok mata yaitu Life After Death yang ditulis tidak lain oleh Gustav Fechner.
Dari cerita tersebut dapat terlihat bahwa ada dua sisi yang berlawanan dari seorang Fechner, yaitu : (a) Pada satu sisi ia memandang manusia sebagai makhluk ruhaniah yang bergerak menuju Tuhan. (b) Pada sisi yang lain ia melihat bahwa jiwa manusia sebagai objek yang bisa diukur dan diteliti secara eksperimental. Sayangnya, sisi spiritual psikologinya terbuang dalam onggokan sejarah, sedangkan sisi material psikologinya menjadi arus kuat yang bergabung dengan gelombang Pencerahan pada abad 18 yang melahirkan sains modren. Karena kesadaran dianggap sebagai ilusi subjektif, psikologi tidak lagi berhubungan dengan psyche. Pada saat itulah, psikologi mengambil jalan yang bertentangan dengan agama.
Para tokoh psikoanalisis dan behavioral menegakkan teori mereka di atas asumsi-asumsi sains modren. Perilaku manusia dijelaskan secara naturalistis, artinya menghindari penjelasan spiritual. Psikologi tidak mempercayai adanya realitas spiritual atau supernatural. Tidak heran jika kita menemukan para tokoh awal psikologi yang umumnya atheis. Freud meninggalkan Yahudi dan mendirikan “agama” Psikoanalisis. Watson keluar dari Kristen dan menjadi “nabi” behaviorisme. Psikoanalisis dan behaviorisme memang hanya dua mazhab dalam psikologi, tetapi keduanya sangat dominan dalam sains modren. Namun kita harus menggarisbawahi di samping psikologi sains modern, ada arus bawah gerakan budaya kontra yang tetap berusaha mengintegrasikan psikologi dengan agama. Pada paruh kedua abad 20, arus bawah ini perlahan- lahan naik ke atas.
c. Menuju integrasi kembali
Pada 1950 dan 1960-an, para terapis menemukan sejenis pasien baru. Seorang wakil presiden dari Gross and Jumbo Corporation datang menemui terapis. Pekerjaannya mapan, memiliki jabatan, dicintai anak dan istri, anak-anaknya tidak bermasalah, kehidupan seksualnya memuaskan, dihormati di tengah masyarakat, temannya banyak, rumahnya besar, memiliki mobil dan simpanan uang di bank. Mereka dipandang sukses dalam budayanya. Orang ini telah memperoleh apa yang disebut dengan kebahagiaan. Ternyata yang mereka permasalahkan ialah “Hidupku kosong”, atau “Semuanya tak begitu berarti”, atau “Aku merasa hampa”. Melihat situasi tersebut, dua cabang psikologi behaviorisme dan psikoanalasis tidak dapat berbuat banyak.[13]





















Beberapa bagian dari tulisan diatas disadur dari beberapa sumber antara lain:








[pdf] ejournal.uinsuka.ac.id/index.php/psikologi/article/download/132/125.


[1] http://hifnimubarok.blogspot.co.id/2012/05/psikologi-islam.html diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:02 AM
[5] [pdf] Purwakania, ejournal.uinsuka.ac.id/index.php/psikologi/article/download/132/125 Diakses pada Jum’at 20 Mei 2016 Pukul 22:00 PM
[7] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta:Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 9.
[8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991), hlm. 279.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi,  Metodologi Psikologi Islam,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 106-107.
[10] M. Amin Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 170-209.
[11] http://habibah-kolis.blogspot.co.id/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html Diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:05 AM
[12] http://www.uii.ac.id/content/view/4097/1211500150/ Diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:09 AM