XXXII
INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM
Abdul
Rifki / 1115016200075
Integrasi
Islam dan Psikologi ternyata tidah semudah yang dibayangkan, secara tidak
disadari integrasi itu memadukan dua kewenangan bidang
keilmuan. Kewenangan pertama pada label islam yang sarat akan ilmu-ilmu
keislaman sedang kewenangan kedua pada label psikologi yang sarat akan
cabang-cabang psikologian. Psikologi islam disini adalah kajian tentang islam
dilihat dari pendekatan psikologi. Oleh karena itu jika kita ingin mengetahui
hakekat manusia maka Al Qur’an tetapi juga merefleksikan kejadian-kejadian di
alam semesta.[1]
Menyaksikan
pergumulan pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada
keinginan yang kuat dari para pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna
dalam kemodernan. Usaha ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan
modern dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah
perbincangan di seputar upaya membangun sebuah konstruksi Psikologi Islam yang
mempunyai corak dan warna tersendiri, sekaligus sebagai psikologi alternatif.
Sedang Psikologi umum telah terbukti banyak mengalami kegagalan di dalam
memahami berbagai kehidupan jiwa manusia.
Dalam
lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan
berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang
tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya
menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan
itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan
nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini
mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus
relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.
Dari
segi pemikiran Islam, istilah Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara
substansinya telah ada dalam pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir,
Ilmu Kalam, terlebih Ilmu Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut
diwarnai dengan pemikiran filsafat.[2]
Psikologi
Islam adalah satu pendekatan studi dalam memahami kejiwaan dan perilaku manusia
yang berdasarkan konsep tauhid, dengan cara integrasi antara ilmu dan iman.
Jangan sampai hati beriman kepada Allah tetapi cara atau pola berpikirnya tidak
menopangnya. Artinya, kehadiran Psikologi Islam untuk mengintegrasikan pada
semua hal. Karena sebagaimana diketahui, psikologi (sebagai disiplin ilmu)
muncul bukan dari orang Islam tapi dari orang Barat dan karya-karya mereka
telah banyak memberi kontribusi pada semua bidang kehidupan, sekalipun cara
berpikirnya sekuler. Justru kehadiran psikologi Islam memberi nuansa
transenden.
Psikologi
Islam berasal dari ilmu nafs (dalam bahasa Arab berarti “jiwa”) yang merupakan
salah satu ilmu kajian kejiwaan yang berkembang pada zaman keemasan Islam, yang
mempunyai kemiripan dan dikembangkan juga berdasarkan psikologi modern yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Selain dilahirkan dari penelitian empirik yang
terbatas sesuai dengan kemampuan manusiawi, psikologi Islam berdasarkan kepada
kitab suci Al Qur’an dan kajian Al Hadits Nabi Muhammad SAW.[3]
Ketika
psikologi sekuler digunakan untuk memahami perilaku umat Islam, maka akan
terjadi banyak masalah. Psikologi dipahami bukan sebagi ilmu jiwa, tetapi saat
ini dipahami sebagai ilmu perilaku organisme. Sementara dalam Islam, jika
merujuk pada tokoh seperti Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih dan al-Ghazali, psikologi
merupakan bagian dari filsafat. Karena itu, dalam bahasa Arab, psikologi
identik dengan ilmu nafs. Lantas, kenapa ilmu jiwa tidak menjadi bagian dari
dalam psikologi modern, karena jiwa tidak bisa dipelajari. Sehingga di Barat,
dengan pola berpikirnya yang positivistik itu tidak memasukkan jiwa sebagai
bagian dari kajian psikologi, makannya psikologi dimaknai sebagai ilmu
perilaku. Karena perilaku bisa dieksprimentasi dan eksplorasi secara empiris
sedangkan jiwa tidak bisa. Itulah sejarah perkembangan Psikologi Islam, yang
hadir untuk mengembalikan psikologi dari akarnya.[4]
Psikologi
Islam memiliki berbagai sumber klasik. Di dalam Al Qur’an dan Al Hadits
terdapat ayat-ayat yang menceritakan keadaan jiwa orang-orang beriman, orang-orang
kafir, sikap serta tingkah Diri dan Spiritualitas. Para cendekiawan Islam pada
zaman keemasan Islam, seperti Al Kindi (801-873), Al Farabi (878-950), Ibnu
Sina (980-1037), Al Ghazali (1058-1111) dan lain-lain menghasilkan berbagai
karya klasik tentang pemikiran atau penelitian mereka tentang jiwa pada
manusia. Selain sumber klasik, pemikiran dan perkembangan psikologi modern juga
memberikan kontribusinya yang pada akhrinya melahirkan Psikologi Islam. Dengan
berbagai sumber seperti ini, Psikologi Islam tak hanya berdimensi ilmu jiwa
secara psikologis, tetapi juga ilmu jiwa dalam hubungannya dengan Allah SWT.
Lahirnya Psikologi Islam tidak terlepas dari
sejarah upaya islamisasi pengetahuan. Ancok dan Suroso (1994) menyatakan bahwa sejarah
perkembangan islamisasi pengetahuan telah dimulai pada abad 20 yang dipelopori
salah satu oleh lembaga The
International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada tahun 1981 yang awalnya berpusat di Washington
DC Amerika Serikat. Para pemikir Islam
merasa prihatin karena kondisi umat Islam yang begitu saja meniru kebudayaan-kebudayaan
asing. Proses deislamisasi, westernisasi, dan sekularisasi akhirnya mengantarkan
umat Islam berada “di anak tangga terbawah bangsa-bangsa”. Lembaga ini melakukan
perbandingan-perbandingan antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan Barat modern,
untuk kemudian membuang bagian ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Al
Qur’an. Al Qur’an dipergunakan sebagai
penyaring daripada ilmu pengetahuan modern. Banyak program yang dilaksanakan
secara aktif seperti mengadakan pertemuan internasional, menerbitkan banyak
buku teks, review buku, jurnal, majalah yang semuanya mengarah kepada integrasi
Islam dan ilmu pengetahuan. Mereka juga memberikan pandangan mengenai bagaimana
integrasi islam dan ilmu pengetahuan secara umum seharusnya dilakukan.[5]
Sebagai
mazhab baru dalam bidang psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang
tidak dimiliki oleh psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan
psikolog muslim sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu
ini. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai
psikologi Barat kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami
Metodologi Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu
pengetahuan yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah
keuniversalan metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi
Islam sebagai ilmu yang objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.[6]
Ada
dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi
Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan
modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai
pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode,
bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains
yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang
sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan
tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[7]
Ketika
kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus
diperhatikan. Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang
bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan
ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam
Psikologi Islam itu sendiri.
Dalam
konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang
berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan
Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling
berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara
aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
...كتـاب
أنزلنـه إليك لنخرج النـاس من الظلمـت إلى النـور بـإذن ربـهم إلى صراط العـزيز الحمـيد
. (إبراهـيم/14: 1 )
“...
(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka,
(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS.
Ibrahim/14:1).[8]
Dengan
ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma
agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya
dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for
science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran
ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk
menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara
epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari
kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan
apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini,
pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran
epistemologik.[9]
Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan
intuisi.
Perlu
diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola
pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri
secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi
ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya
dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun
ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami
manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu
pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan
terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan
rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan
esensi, bukan hanya gejala.
Psikologi
Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula
dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh
metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum
al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar
epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah
terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika atau moral.[10]
Beberapa
pendekatan yang dilakukan di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan
skriptualis, pendekatan falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.
a.
Pendekatan skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan
skriptualis dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran
atau Hadis dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk
(dilalah) yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa
Allah mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang
prosedur metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i
(tematis), Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global).
Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran
al-Manqul.
b.
Pendekatan falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal
(burhan). Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan
atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang
didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash,
hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya.
Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu
menangkap pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil)
terhadap lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik
dengan aliran Ma’qul.
c.
Pendekatan tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi
(irfan). Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada
prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara
menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs)
untuk membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa
manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan
hakikat jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik
disebut juga dengan Itsari.[11]
Kemudian Menurut Drs. Helly Soetjipto,
MA Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) wilayah DIY, integrasi
nilai-nilai Islam ke dalam ilmu psikologi menjadi tantangan baru yang harus
dipecahkan. Sebab menurutnya ilmu psikologi yang dipelajari selama ini
cenderung bersifat sekuler atau keilmuan murni.
Manusia pada dasarnya memiliki empat
nafsu, yaitu keinginan untuk mencukupi kebutuhan hidup, keinginan untuk
berkembang biak, keinginan untuk mencari harta, dan keinginan untuk mencari
ketenangan. Selama ini yang diajarkan kan bagaimana cara mengelola dan
memaksimalkan empat itu, belum mengarahkannya untuk mencapai spiritualitas
kepada Tuhan.
Karena hanya dikelola dan dimaksimalkan,
seringkali manusia tidak mencapai ketenangan hidup namun justru berujung pada
stres dan kegelisahan. Oleh karena itu, ia berpendapat psikolog Islam dapat
mencari cara bagaimana mengembangkan metode ilmiah untuk menjawab permasalahan
itu.[12]
Selanjutnya integrasi psikologi dengan
islam terbagi dalam tiga periode diantarnya:
a.
Awal abad ke-16
pada abad ke-16 psikologi barat sangat
erat dengan agama. Buktinya adanya cabang ilmu pneumatologi, yang terbagi dalam 3 bentuk yaitu (1) ilmu tentang
Tuhan (Teologi) (2) ilmu tentang ruh-ruh perantara (Angelologi). (3) ilmu
tentang ruh manusia (Psyhologia). Dan pada masa ini psikologi masih berbau
metafisis.
b.
Masa pertentangan
Pada 1879, datanglah Wilhelm Wundt
di Universitas Leipzig. Ia dianggap sebagai bapak psikologi modren yang
berlandaskan di atas landasan ilmiah. Hal ini didukung oleh Fechner, yang
menemukan metode eksak dalam pengukuran observasi eksperimental untuk meneliti
gejala psikis. Fechner ternyata sosok yang sangat spiritual. Hal ini dapat dijelaskan
oleh Ken Wilber pada salah satu kutipannya (Wilber, 2000:viii-ix), yang
mengatakan bahwa ketika ia membongkar-bongkar toko buku yang dipenuhi buku-buku
filsafat yang tua, dengan sangat terkejut ia menemukan buku dengan judul yang
mencolok mata yaitu Life After Death yang ditulis tidak lain oleh Gustav
Fechner.
Dari cerita tersebut dapat terlihat
bahwa ada dua sisi yang berlawanan dari seorang Fechner, yaitu : (a) Pada satu
sisi ia memandang manusia sebagai makhluk ruhaniah yang bergerak menuju Tuhan. (b)
Pada sisi yang lain ia melihat bahwa jiwa manusia sebagai objek yang bisa
diukur dan diteliti secara eksperimental. Sayangnya, sisi spiritual
psikologinya terbuang dalam onggokan sejarah, sedangkan sisi material
psikologinya menjadi arus kuat yang bergabung dengan gelombang Pencerahan pada
abad 18 yang melahirkan sains modren. Karena kesadaran dianggap sebagai ilusi
subjektif, psikologi tidak lagi berhubungan dengan psyche. Pada saat itulah,
psikologi mengambil jalan yang bertentangan dengan agama.
Para tokoh psikoanalisis dan behavioral
menegakkan teori mereka di atas asumsi-asumsi sains modren. Perilaku manusia
dijelaskan secara naturalistis, artinya menghindari penjelasan spiritual.
Psikologi tidak mempercayai adanya realitas spiritual atau supernatural. Tidak
heran jika kita menemukan para tokoh awal psikologi yang umumnya atheis. Freud
meninggalkan Yahudi dan mendirikan “agama” Psikoanalisis. Watson keluar dari
Kristen dan menjadi “nabi” behaviorisme. Psikoanalisis dan behaviorisme memang
hanya dua mazhab dalam psikologi, tetapi keduanya sangat dominan dalam sains
modren. Namun kita harus menggarisbawahi di samping psikologi sains modern, ada
arus bawah gerakan budaya kontra yang tetap berusaha mengintegrasikan psikologi
dengan agama. Pada paruh kedua abad 20, arus bawah ini perlahan- lahan naik ke
atas.
c.
Menuju integrasi kembali
Pada 1950 dan 1960-an, para terapis
menemukan sejenis pasien baru. Seorang wakil presiden dari Gross and Jumbo
Corporation datang menemui terapis. Pekerjaannya mapan, memiliki jabatan,
dicintai anak dan istri, anak-anaknya tidak bermasalah, kehidupan seksualnya
memuaskan, dihormati di tengah masyarakat, temannya banyak, rumahnya besar,
memiliki mobil dan simpanan uang di bank. Mereka dipandang sukses dalam
budayanya. Orang ini telah memperoleh apa yang disebut dengan kebahagiaan.
Ternyata yang mereka permasalahkan ialah “Hidupku kosong”, atau “Semuanya tak
begitu berarti”, atau “Aku merasa hampa”. Melihat situasi tersebut, dua cabang
psikologi behaviorisme dan psikoanalasis tidak dapat berbuat banyak.[13]
Beberapa bagian dari tulisan diatas
disadur dari beberapa sumber antara lain:
[pdf] ejournal.uinsuka.ac.id/index.php/psikologi/article/download/132/125.
[1] http://hifnimubarok.blogspot.co.id/2012/05/psikologi-islam.html diakses pada Kamis 19 Mei 2016
pukul 10:02 AM
[2] http://habibah-kolis.blogspot.co.id/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html
Diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:05 AM
[3] http://www.ilmupsikologi.com/2015/09/pengertian-sejarah-dan-perkembangan-psikologi-islami.html
Diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:07 AM
[4] http://www.uinjkt.ac.id/id/psikologi-islam-mengitegrasikan-ilmu-dan-iman/ pada Kamis 19 Mei 2016 pukul
10:09 AM
[5] [pdf] Purwakania,
ejournal.uinsuka.ac.id/index.php/psikologi/article/download/132/125 Diakses pada Jum’at 20 Mei 2016 Pukul 22:00 PM
[6] http://habibah-kolis.blogspot.co.id/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html
Diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:05 AM
[7] Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta:Yayasan Insan Kamil dan
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 9.
[8] Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991), hlm. 279.
[9] Rif’at
Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam,( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 106-107.
[10] M. Amin
Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme
Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 170-209.
[11] http://habibah-kolis.blogspot.co.id/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html
Diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:05 AM
[12] http://www.uii.ac.id/content/view/4097/1211500150/
Diakses pada Kamis 19 Mei 2016 pukul 10:09 AM
[13] http://www.slideshare.net/Ruziqna/problematika-hubungan-antara-psikologi-dengan-agama Diakses pada Jum’at 20 Mei
2016 pukul 22:25 PM